Jumat, 04 November 2011

Kamis, 27 Mei 2010

PERTANDA 4


            Malam dingin tidak begitu menusuk raga. Angin malam hanya berhembus melewati ruang-ruang hampa. Rintik hujan hanya membasahi dinding-dinding kebuntuan. Semua itu sirna oleh bayang rembulan yang sudah lama tak kulihat. Tak kuraba. Tak kurasakan keindahannya.
            Dan kini Aku hanya terbaring di atas pijakan yang sudah kusam, warna yang sudah pudar, rasa yang semakin hambar tanpa sekilasbayang rembulan.
            Dinding-dinding kebuntuan hanya berdiri tegak menertawaiku. Ruang-ruang hampa semakin meremukkan sesak napas. Bayang rembulan bahkan semakin menghilanh terhalang kebuntuan dan kehampaan.
            Malam tak bisa menemani. Angin tak mampu membawaku terbang. Dan rintik hujan tak dapat menyirami hati yang gersang. Dan Aku semakin rapuh oleh ruang yang hampa dan waktu yang cepat berlalu. Bahkan bayang rembulan tak nampak menemani malam.
            Kini Aku masih terbaring di atas pijakan yang semakin rapuh oleh ruang dan waktu.  


21:44 WIB
Selasa, 130307


PERTANDA 3

Pagi begitu cerah. Mentari bersinar dengan gagahnya. Awan bergumul putih. Dan angin masih menghembus tanpa arah.
Pagi memang begitu cerah. Namun Aku masih diam kaku. Duduk terpaku di antara ruang-ruang yang hampa. Tanpa desiran angin. Tanpa kicauan burung. Tanpa suara apapun.
Ruang hampa dan hati penat. Di sinilah Aku menatap ruang hampa. Hanya fatamorgana ruang. Hanya dinding-dinding kosong yang bisa Aku saksikan. Hanya kepenatan yang Aku nikmati. Sementara kepulan asap rokok dan dinding kopi hitam begitu asyik menemani kepenatan.
Bayang rembulan tidak nampak. Tidak sedikit pun bayang itu terbentuk kepulan rokok. Tidak ada sedikit pun yang menempel dalam dinding kopi hitam. Dan Aku hanya menatap ruang-ruang kosong. Hampa. Sepi. Penat.
Ruang-ruang hampa kini benar-benar kosong. Menelan kepulan asap dengan rakus. Melebur dinding kopi hitam yang sudah mengental. Menekan hati ini menjadi lebih penat. Lebih sempit tanpa sedikit pun udara berkeliaran di sana. Aku semakin kosong. Masih duduk kaku menatap dinding-dinding kosong tanpa bayang rembulan yang setia menemani ruang dan waktu.

07:03 WIB
Rabu, 240101

PERTANDA 2


            Siang terasa menyengat pori-pori. Dan Aku masih termenung dan terdiam di sudut yang bersudut. Di ruang yang beruang. Rumah yang beruang. Kamar yang beruang. Dan hati yang beruang.
            Aku tersudutkan ruang. Ke depan, Aku membentur ruang. Ke kanan, Aku terhalang ruang. Ke kiri, Aku terbatas ruang. Dan ke belakang, Aku tersendat ruang. Ke manapun, Aku tersudutkan ruang.
            Ruang-ruang itu terus menggenggam raga hingga sesak napas hanya menghirup ruang. Dada ini terhimpit ruang. Hati ini pun tertindas ruang.
            Di sini... Aku hanya memikirkan ruang. Dan bayang rembulan itu ada di luar ruang. Ruang tak dapat kutembus. Dan bayang rembulan pun tak bisa masuk ke dalam ruang. Sementara bayang rembulan terbang di luar ruang.
            Ruang itu... adalah ruang yang belum bisa menjadi ruangku. Bersemayam dalam bayangku. Terbang dengan sayapku yang malang. Membawa pertanda-pertanda yang hitam. Pertanda-pertanda yang belum berbayang. Pertanda-pertanda di siang melintang. Dan Aku masih juga memikirkan ruang.


13:11 WIB
Sabtu, 200101

PERTANDA 1


           Malam begitu dingin. Awan begitu kelabu, dan rembulan tidak menampakkan senyumnya.
            Sementara Aku masih tersudutkan di ruang yang bersudut. Bayangan rembulan tidak menampakkan di ruang hati yang tak beruang. Senyum rembulan masih ada dalam bayangan. Namun bayangannya tak berbayang dalam bayangku.
            Sesosok rembulan itu pun masih jauh dalam ragaku. Dan Aku semakin tersudutkan ruang yang bersudut. Bayangku semakin menghilang dalam malam. Terbang entah ke mana. Aku semakin terbang diruangi ruang yang bersudut. Dan kini ruang itu semakin tak beruang. Melepas ke alam yang tak pernah menyudutkanku.
            Aku pun hilang dalam ruang yang tak beruang sambil mencari bayangan rembulan itu berada. Dan pertanda-pertanda itu semakin mengendalikan sayapku. Tapi entah ke mana Aku terbang dengan tiupan pertanda-pertanda itu.


19:39 WIB
Rabu, 170101

Selasa, 18 Mei 2010

6 HARI BERSELIMUT REMBULAN

Hari 1

Malam ini begitu membosankan. Terjebak rutinitas kerja? Memikirkan hidup? Atau memikirkan rembulan yang tak pernah muncul?
Entahlah… yang jelas BOSAN…. B-O-S-A-N.
Aku hanya melamun di kursi. Di kamar sempit yang berukuran 3X6, Aku hanya diam. Sesekali Aku melihat temanku (Pandu) yang sedang mengutak-atik gambar yang tersimpan di komputer sambil mewarnainya. Bahkan sesekali asap rokok keluar dari mulutku yang sudah hitam.
“Aku bosan. Aku bingung. Aku tak kuasa memikirkan hidup. Berpuluh-puluh wanita Aku dekati, tapi tak satu pun yang kuikat. Tak satu pun yang bisa menenangkan batin dan gejolak jiwa ini.” Dengan penuh emosi Aku teriakan padanya sambil kumatikan rokok yang hampir membakar filternya.
“Tenang, De... tenang... sabar...,” sahut Pandu yang kaget melihatku marah. “Cewek itu sebenarnya gampang. Apa yang dia minta, kasih aja. Itu untuk awal perhatian padanya.” Omongnya dengan tenang sambil memegang mouse dan keyboards.
Aku pun terdiam. Berusaha mencerna omongannya. Namun gejolak jiwa ini tak kunjung padam. Terus... dan terus ingin merangkul rembulan yang tak pernah tersenyum. Diam dan hanya diam. Begitu pun dengannya.
Aku keluar dari kamar berusaha untuk menghilangkan kepenatan. Berdiri di depan pintu dan melihat bintang-bintang yang berkelip. Namun tak satu pun kerlipnya bisa menerangi gelap mata.
Mataku melirik ke kanan. Tepat di sana, dua orang wanita sedang memutar kran. Aku pun menghampirinya dan bertanya, “Nggak keluar ya airnya?”
“Iya, Mas,” sahut wanita yang berkerudung.
Seketika Aku terenyuh ketika melihat gadis itu menyahut sambil tersenyum. Aku diam. Tak bisa berkata apa-apa.
Aku pun tersadar, lalu kubuka sanyo dan kumasukkan beberapa gelas air sebagai pancingan.
Drrrdrrdd... mesin sanyo pun bergetar saat kupencet sakelar yang tepat berada di depanku.
“Sudah lama ngekos di sini?” tanyaku kepadanya sebagai pembuka perbincangan.
“Sudah sebulan lebih,” jawabnya.
“Dari mana... eh, namanya siapa?” tanyaku dengan gugup.
“Risda.”
“... (lupa).”
“Dede,” ucapku sambil menjabat tangan keduanya.
“Nah, sekarang jangan panggil saya Mas atau Abang. Panggil saja Dede,” ucapku untuk berusaha mengenalinya.
“Kalo Aa, gimana?” ucap Risda.
Aku pun hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
Ember sudah penuh terisi air. Keduanya melangkah sambil menjinjing ember. Aku melangkah cepat dan menarik ember hitam yang dijinjing.... aku pun berusaha meraih ember biru yang dijinjing Rida.
“Sini, Ris, saya bawain,” ucapku.
“Ah, nggak usah,” ucapnya.
Aku berusaha keras untuk mengambil embernya. Tak sengaja tanganku menempel dengan tangannya. “Nggak papa kok,” ucapku dengan gugup.
Malam sekarang terasa sejuk dan indah. Rembulan pun tersenyum, bintang-bintang berkelip, menambah indahnya malam. Dan Aku pun terdiam dalam tidur....

Hari 2
Subuh ini terasa dingin. Sekujur tubuhku terasa kaku bak patung yang berdiri tegak, dan tubuhku terbaring di atas kasur, kaku tak bisa bergerak sama sekali, terlebih udara dingin menusuk paru-paru dan jantung lalu memaksa aliran darah ini untuk berhenti. Walau begitu, kupaksakan tubuh kaku ini untuk bergerak mengambil air wudu.
Langit di atas masih terlihat cerah. Bintang-bintang masih bertengger mengerlipkan cahaya yang indah seindah diriku yang bisa menggerakkan sel-sel tubuh ini tuk bercinta dengan Maha Indah walaupun rembulan sudah hilang dari peredaran.
Aku melangkah dari tempat percintaanku dengan-Nya. Seketika, bintang-bintang masih enggan hilang dari penglihatanku. Sementara di sana kulihat Gadis Berkerudung yang tak memakai kerudung berjalan menuju sumber air, tak lupa seorang gadis berparas ayu dan dua buah ember setia menemaninya.
Aku pun melangkah seribu langkah menuju ke arahnya. Tiba-tiba gadis berkerudung membalikkan kepalanya, dan kedua matanya berpadu dengan kedua mataku. Aku terdiam, menghentikan langkah-langkah ini, dihentikan sorot matanya dan senyumnya yang begitu indah menyaingi senyumnya rembulan yang pernah aku lihat.
“Subhanallah... begitu cantiknya dia walau tubuhnya belum tersentuh air,” gumam hatiku mencairkan langkah-langkahku yang kaku.
“Habis salat subuh, ya?” tanyanya dengan lembut.
“I... iya, Ris,” jawabku dengan terbata-bata. Aku pun langsung melangkahkan kaki tuk membantunya mengisi ember.
Kami berdua jongkok dan terdiam lama, satu sama lain saling menunggu tanya seakan-akan gembira menunggu soal-soal ujian yang siap dijawab tuntas. Dan aku hanya diam tak bisa berkata apa-apa.
“Semalam nisfu Sya’ban, ya?” tanyanya membuka pembicaraan yang membangunkan sel-sel motorik yang lama terdiam kaku.
“O... tadi malam kali. Iya, tadi malam nisfu,” jawabku dengan sedikit bingung mencerna perbedaan antara semalam dengan tadi malam.
“Eh, iya tadi malam. Pantesan rame banget,” ucapnya sedikit meralat pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
“Besok nggak pulang?” tanyaku dengan masih kikuk.
“Kayaknya nggak deh. Besok masih masuk. Libur kerjanya hanya hari Minggu,” jawabnya dengan sedikit harapan. Harapan untuk bisa pulang menemui keluarganya.
Ops... ember pun sudah terisi air dengan penuh. Kami terlalu asyik mengobrol hingga apa yang ada di hadapan kami terlupakan begitu saja. Gadis berkerudung melangkahkan kakinya. Tangan kanannya menjinjing ember. Sementara temannya mengikuti menjinjing ember satunya lagi.
Waktu begitu cepat laksana ember yang cepat terisi air. Tak terasa gadis berkerudung mulai mewarnai pelangi hidupku. Senyumnya telah menghiasi kesamaran rasaku. Kerlipnya telah menerangi keburaman pikiranku.

AKU MASIH BISA BERDIRI

Bukan maksud Aku ingin menerkam rembulan yang tersenyum
Tapi Aku ingin merasakan senyumannya lebih dekat

Bukan maksud Aku ingin menggenggam bintang yang berkelip
Tapi Aku ingin kerlipnya menerangi kegelapan mata hati ini

Bukan maksud Aku ingin mengubah warna pelangi
Tapi Aku ingin mewarnai jiwa dan rasa ini

Biarlah senyumnya tak bisa kurasakan
Biarlah kerlipnya tak jadi penerang
Biarlah warnanya tak dapat meresap

Di sini Aku tetap berdiri tegar
Di atas kegelisahan Aku masih menatap langit
Membalas senyuman rembulan-rembulan
Mengedip pada bintang-bintang
Menatap indahnya pelangi-pelangi

Selama Aku masih bisa berdiri

Ciawi, 04:29/080906



Hari 3
Pagi ini masih terasa dingin. Hawa kota hujan ini menghembus menerobos ke dalam sel-sel darahku. Aku pun langsung bercinta dengan Sang Maha Cinta setelah air dingin menutupi pori-pori kulitku.
Sore hari Bang Zul dan Mail duduk di pelataran kosan bersamaku. Kami asyik bermain gitar dan bernyanyi sambil seseklai asap rokok keluar dari mulut dan hidung kami. Beberapa lagu kami nyanyikan diiringi petikan senar yang mengalun indah.
Tiba-tiba gadis berkerudung berpakaian seragam putih-hitam berjalan bersama pasukannya.”Kok udah pulang, Ris?” tanyaku mengiringi langkahnya.
“Bolos,” jawabnya dengan canda.
“Entar diabsen, lho...,” candaku dengan sedikit tersenyum. Dia pun hanya tersenyum lebar kepadaku sambil meneruskan langkahnya.
Siang begitu panas. Terik matahari merangkul bumi. Aku pun melangkahkan kakiku menuju kantor. Hari-hari yang kulalui terasa begitu cepat secepat langkahku tuk menggapai harapan hidup.
***
Malam ini tidak secerah malam-malam yang lalu. hanya beberapa bintang mengerlipkan senyumnya ke arahku. Perasaan tak menentu mulai menusuk-nusuk hatiku. Gadis berkerudung belum menorehkan senyumnya di mataku. Entah berada di mana, dan entah pergi ke mana. Pertanyaan ini terus merudung perasaanku. Kamarnya yang hanya beberapa meter dari kamarku terlihat gelap, sepi, dan tiada napas pun yang berhembus di sana.
Aku hanya menunggu dan menunggu. Perasaan tak menentu dan pikiran yang kusut menambah suasana malam yang tidak cerah.

Hari 4
Malam begitu gelap. Bintang-bintang dan rembulan bersembunyi di balik tabir malam. Begitupun dengan hatiku. Gelap. Samar. Hampa. Dan entah perasaan apa lagi yang bercampur aduk di dalamnya. Terasa begitu lama rembulan tak muncul dan tersenyum kepadaku.
Saat semuanya berlalu, petikan gitar dan nyanyian rindu aku nyanyikan. Tabir rasa belum begitu tenang dan terang. Rembulan melangkah tepat di depan mataku sambil tersenyum. Sementara aku hanya terdiam dalam gelap. Kaku dalam beku. Terperangah menatap wajahnya yang indah dan senyumnya yang mencairkan kebekuan, menerangi kegelapan malam.

Hari 5
Pagi begitu cepat meninggalkan malam. Begitupun dengan hari-hariku yang melangkah cepat dalam lamunanku.
Kuberanikan diriku tuk menemui rembulan yang berdiam di peraduan. Kami pun terlena dalam cinta dan sayang. Saling mengenalkan satu sama lain sambil sesekali kupetik senyumnya yang telah menerangi kegelapanku. Canda, tawa, dan tanya terpancar dalam peraduannya yang penuh keindahan dan ketenteraman.

Hari 6
Pagi begitu cerah. Matahari mulai angkuh menyemburkan panasnya ke alam raya. Namun hatiku masih merasakan indahnya senyuman rembulan yang tak mungkin kulupakan selamanya.
Tetapi itu hanya sesaat bagiku, setelah perasaan ini diterpa panasnya matahari. Diterpa angin kegelisahan. Tertusuk duri-duri rindu. Perasaan yang bimbang, pikiran yang semrawut. Entah memikirkan apa? Entah memikirkan siapa? Namun kerinduan ini tak bisa melepas dari hati yang bimbang ini. Merindukan cinta, kasih sayang, persahabatan. Merindukan kenangan-kenangan hidup yang telah terpaku dalam hati.

AKU
Aku adalah pemimpi
Kaulah mimpi indahku

Aku adalah pejuang
Kaulah penyemangatku

Aku adalah pengembara
Kaulah yang kucari

Aku adalah pecinta
Kaulah yang kucinta

Aku adalah penyayang
Kaulah yang kusayang

Aku adalah Aku
Dan kaulah bagian Aku


KAU
Kau bagaikan burung kecil
yang terbang dan hinggap sesukamu

Kau bagaikan angin
yang berhembus tak menentu

Maka bagiku
Cukuplah kubiarkan kau terbang
Cukuplah kurasakan senyummu
Cukuplah kurasakan pedihnya
hembusan angin


* * *



Sore itu begitu mendung. Awan biru kini menghitam sepekat wajahnya saat kulihat di kamar yang berukuran 3x4 meter. Di pojok kanankulah ia terdiam memurungkan wajahnya. Aku diam. Dia pun diam. kami berdua diam.
Sesekali aku menorehkan senyum di matanya yang bersinar. Namun dia tak membalas senyumku. “Tak seperti biasanya,” gumamku dalam hati sambil mengerutkan dahi.
Sepuluh hari sudah aku jalani hidupku dengannya. Bersama angin, matahari, dan awan biru. Bersama bintang, rembulan, dan mendungnya awan. Bersama suka, kasih, dan sayang. Bersama rindu dan luka.

Bersamamu kulihat pelangi
Bersamamu kulihat bintang
Bersamamu kulihat rembulan

Bukan hanya itu

Bersamamu kulihat panas
Bersamamu kulihat darah
Bersamamu kulihat benci

Bukan benci untuk mencinta
Bukan benci untuk sayang

Bukan hanya itu

Kubenci kau dengannya

Rabu, 12 Mei 2010

Puisi Cintaku


Puisi cintaku
Lahir dari sebuah cinta
Menerpa kehampaan
Menyelimuti kesepian

Puisiku cintaku
Cintaku pada puisi
Yang hilang
Kala ia tak mencintaiku

Puisi cintaku
Hanyalah sebilah alif
Pembuka gerbang istana cinta
Hanyalah kunci
Pendobrak dinding cinta

Puisi cintaku
Hanyalah cermin
Imitasi dinding hati
Pelipur lara dalam kesepian
Kehampaan mencari cinta

                        Ciputat, 251102

Puisi Kehampaan

Engkau datang dalam hampa
Nafasku yang menggebu
Melayang dan melayang
Dengan sayap-sayap yang patah

Kau datang bukan untukku
Cinta yang diselimuti hampa

Kau datang mencengkram
Nafsuku yang malang

Ketahuilah
Wahai para pendusta cinta
Hidup tanpa cinta memang hampa
Bagai sungai tanpa butiran air

Aku tak butuh cintamu
Aku tak butuh darimu
Aku tak butuh senyummu

Biarkan tubuhku ini hampa
Tanpa butiran-butiran cinta

Ciputat, 071002

Cinta Tanpa Makna


Tak kusangka
Cintamu sedangkal pemahaman realita

Tak kusangka
Cintamu tak sedalam lautan kasih sayang

Tak kusangka
Cinta
Kasih
Sayangmu
Tak bermakna

                        Ciputat, 030602

BROMO

BROMO
KAWAH BROMO