Selasa, 18 Mei 2010

6 HARI BERSELIMUT REMBULAN

Hari 1

Malam ini begitu membosankan. Terjebak rutinitas kerja? Memikirkan hidup? Atau memikirkan rembulan yang tak pernah muncul?
Entahlah… yang jelas BOSAN…. B-O-S-A-N.
Aku hanya melamun di kursi. Di kamar sempit yang berukuran 3X6, Aku hanya diam. Sesekali Aku melihat temanku (Pandu) yang sedang mengutak-atik gambar yang tersimpan di komputer sambil mewarnainya. Bahkan sesekali asap rokok keluar dari mulutku yang sudah hitam.
“Aku bosan. Aku bingung. Aku tak kuasa memikirkan hidup. Berpuluh-puluh wanita Aku dekati, tapi tak satu pun yang kuikat. Tak satu pun yang bisa menenangkan batin dan gejolak jiwa ini.” Dengan penuh emosi Aku teriakan padanya sambil kumatikan rokok yang hampir membakar filternya.
“Tenang, De... tenang... sabar...,” sahut Pandu yang kaget melihatku marah. “Cewek itu sebenarnya gampang. Apa yang dia minta, kasih aja. Itu untuk awal perhatian padanya.” Omongnya dengan tenang sambil memegang mouse dan keyboards.
Aku pun terdiam. Berusaha mencerna omongannya. Namun gejolak jiwa ini tak kunjung padam. Terus... dan terus ingin merangkul rembulan yang tak pernah tersenyum. Diam dan hanya diam. Begitu pun dengannya.
Aku keluar dari kamar berusaha untuk menghilangkan kepenatan. Berdiri di depan pintu dan melihat bintang-bintang yang berkelip. Namun tak satu pun kerlipnya bisa menerangi gelap mata.
Mataku melirik ke kanan. Tepat di sana, dua orang wanita sedang memutar kran. Aku pun menghampirinya dan bertanya, “Nggak keluar ya airnya?”
“Iya, Mas,” sahut wanita yang berkerudung.
Seketika Aku terenyuh ketika melihat gadis itu menyahut sambil tersenyum. Aku diam. Tak bisa berkata apa-apa.
Aku pun tersadar, lalu kubuka sanyo dan kumasukkan beberapa gelas air sebagai pancingan.
Drrrdrrdd... mesin sanyo pun bergetar saat kupencet sakelar yang tepat berada di depanku.
“Sudah lama ngekos di sini?” tanyaku kepadanya sebagai pembuka perbincangan.
“Sudah sebulan lebih,” jawabnya.
“Dari mana... eh, namanya siapa?” tanyaku dengan gugup.
“Risda.”
“... (lupa).”
“Dede,” ucapku sambil menjabat tangan keduanya.
“Nah, sekarang jangan panggil saya Mas atau Abang. Panggil saja Dede,” ucapku untuk berusaha mengenalinya.
“Kalo Aa, gimana?” ucap Risda.
Aku pun hanya terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
Ember sudah penuh terisi air. Keduanya melangkah sambil menjinjing ember. Aku melangkah cepat dan menarik ember hitam yang dijinjing.... aku pun berusaha meraih ember biru yang dijinjing Rida.
“Sini, Ris, saya bawain,” ucapku.
“Ah, nggak usah,” ucapnya.
Aku berusaha keras untuk mengambil embernya. Tak sengaja tanganku menempel dengan tangannya. “Nggak papa kok,” ucapku dengan gugup.
Malam sekarang terasa sejuk dan indah. Rembulan pun tersenyum, bintang-bintang berkelip, menambah indahnya malam. Dan Aku pun terdiam dalam tidur....

Hari 2
Subuh ini terasa dingin. Sekujur tubuhku terasa kaku bak patung yang berdiri tegak, dan tubuhku terbaring di atas kasur, kaku tak bisa bergerak sama sekali, terlebih udara dingin menusuk paru-paru dan jantung lalu memaksa aliran darah ini untuk berhenti. Walau begitu, kupaksakan tubuh kaku ini untuk bergerak mengambil air wudu.
Langit di atas masih terlihat cerah. Bintang-bintang masih bertengger mengerlipkan cahaya yang indah seindah diriku yang bisa menggerakkan sel-sel tubuh ini tuk bercinta dengan Maha Indah walaupun rembulan sudah hilang dari peredaran.
Aku melangkah dari tempat percintaanku dengan-Nya. Seketika, bintang-bintang masih enggan hilang dari penglihatanku. Sementara di sana kulihat Gadis Berkerudung yang tak memakai kerudung berjalan menuju sumber air, tak lupa seorang gadis berparas ayu dan dua buah ember setia menemaninya.
Aku pun melangkah seribu langkah menuju ke arahnya. Tiba-tiba gadis berkerudung membalikkan kepalanya, dan kedua matanya berpadu dengan kedua mataku. Aku terdiam, menghentikan langkah-langkah ini, dihentikan sorot matanya dan senyumnya yang begitu indah menyaingi senyumnya rembulan yang pernah aku lihat.
“Subhanallah... begitu cantiknya dia walau tubuhnya belum tersentuh air,” gumam hatiku mencairkan langkah-langkahku yang kaku.
“Habis salat subuh, ya?” tanyanya dengan lembut.
“I... iya, Ris,” jawabku dengan terbata-bata. Aku pun langsung melangkahkan kaki tuk membantunya mengisi ember.
Kami berdua jongkok dan terdiam lama, satu sama lain saling menunggu tanya seakan-akan gembira menunggu soal-soal ujian yang siap dijawab tuntas. Dan aku hanya diam tak bisa berkata apa-apa.
“Semalam nisfu Sya’ban, ya?” tanyanya membuka pembicaraan yang membangunkan sel-sel motorik yang lama terdiam kaku.
“O... tadi malam kali. Iya, tadi malam nisfu,” jawabku dengan sedikit bingung mencerna perbedaan antara semalam dengan tadi malam.
“Eh, iya tadi malam. Pantesan rame banget,” ucapnya sedikit meralat pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
“Besok nggak pulang?” tanyaku dengan masih kikuk.
“Kayaknya nggak deh. Besok masih masuk. Libur kerjanya hanya hari Minggu,” jawabnya dengan sedikit harapan. Harapan untuk bisa pulang menemui keluarganya.
Ops... ember pun sudah terisi air dengan penuh. Kami terlalu asyik mengobrol hingga apa yang ada di hadapan kami terlupakan begitu saja. Gadis berkerudung melangkahkan kakinya. Tangan kanannya menjinjing ember. Sementara temannya mengikuti menjinjing ember satunya lagi.
Waktu begitu cepat laksana ember yang cepat terisi air. Tak terasa gadis berkerudung mulai mewarnai pelangi hidupku. Senyumnya telah menghiasi kesamaran rasaku. Kerlipnya telah menerangi keburaman pikiranku.

AKU MASIH BISA BERDIRI

Bukan maksud Aku ingin menerkam rembulan yang tersenyum
Tapi Aku ingin merasakan senyumannya lebih dekat

Bukan maksud Aku ingin menggenggam bintang yang berkelip
Tapi Aku ingin kerlipnya menerangi kegelapan mata hati ini

Bukan maksud Aku ingin mengubah warna pelangi
Tapi Aku ingin mewarnai jiwa dan rasa ini

Biarlah senyumnya tak bisa kurasakan
Biarlah kerlipnya tak jadi penerang
Biarlah warnanya tak dapat meresap

Di sini Aku tetap berdiri tegar
Di atas kegelisahan Aku masih menatap langit
Membalas senyuman rembulan-rembulan
Mengedip pada bintang-bintang
Menatap indahnya pelangi-pelangi

Selama Aku masih bisa berdiri

Ciawi, 04:29/080906



Hari 3
Pagi ini masih terasa dingin. Hawa kota hujan ini menghembus menerobos ke dalam sel-sel darahku. Aku pun langsung bercinta dengan Sang Maha Cinta setelah air dingin menutupi pori-pori kulitku.
Sore hari Bang Zul dan Mail duduk di pelataran kosan bersamaku. Kami asyik bermain gitar dan bernyanyi sambil seseklai asap rokok keluar dari mulut dan hidung kami. Beberapa lagu kami nyanyikan diiringi petikan senar yang mengalun indah.
Tiba-tiba gadis berkerudung berpakaian seragam putih-hitam berjalan bersama pasukannya.”Kok udah pulang, Ris?” tanyaku mengiringi langkahnya.
“Bolos,” jawabnya dengan canda.
“Entar diabsen, lho...,” candaku dengan sedikit tersenyum. Dia pun hanya tersenyum lebar kepadaku sambil meneruskan langkahnya.
Siang begitu panas. Terik matahari merangkul bumi. Aku pun melangkahkan kakiku menuju kantor. Hari-hari yang kulalui terasa begitu cepat secepat langkahku tuk menggapai harapan hidup.
***
Malam ini tidak secerah malam-malam yang lalu. hanya beberapa bintang mengerlipkan senyumnya ke arahku. Perasaan tak menentu mulai menusuk-nusuk hatiku. Gadis berkerudung belum menorehkan senyumnya di mataku. Entah berada di mana, dan entah pergi ke mana. Pertanyaan ini terus merudung perasaanku. Kamarnya yang hanya beberapa meter dari kamarku terlihat gelap, sepi, dan tiada napas pun yang berhembus di sana.
Aku hanya menunggu dan menunggu. Perasaan tak menentu dan pikiran yang kusut menambah suasana malam yang tidak cerah.

Hari 4
Malam begitu gelap. Bintang-bintang dan rembulan bersembunyi di balik tabir malam. Begitupun dengan hatiku. Gelap. Samar. Hampa. Dan entah perasaan apa lagi yang bercampur aduk di dalamnya. Terasa begitu lama rembulan tak muncul dan tersenyum kepadaku.
Saat semuanya berlalu, petikan gitar dan nyanyian rindu aku nyanyikan. Tabir rasa belum begitu tenang dan terang. Rembulan melangkah tepat di depan mataku sambil tersenyum. Sementara aku hanya terdiam dalam gelap. Kaku dalam beku. Terperangah menatap wajahnya yang indah dan senyumnya yang mencairkan kebekuan, menerangi kegelapan malam.

Hari 5
Pagi begitu cepat meninggalkan malam. Begitupun dengan hari-hariku yang melangkah cepat dalam lamunanku.
Kuberanikan diriku tuk menemui rembulan yang berdiam di peraduan. Kami pun terlena dalam cinta dan sayang. Saling mengenalkan satu sama lain sambil sesekali kupetik senyumnya yang telah menerangi kegelapanku. Canda, tawa, dan tanya terpancar dalam peraduannya yang penuh keindahan dan ketenteraman.

Hari 6
Pagi begitu cerah. Matahari mulai angkuh menyemburkan panasnya ke alam raya. Namun hatiku masih merasakan indahnya senyuman rembulan yang tak mungkin kulupakan selamanya.
Tetapi itu hanya sesaat bagiku, setelah perasaan ini diterpa panasnya matahari. Diterpa angin kegelisahan. Tertusuk duri-duri rindu. Perasaan yang bimbang, pikiran yang semrawut. Entah memikirkan apa? Entah memikirkan siapa? Namun kerinduan ini tak bisa melepas dari hati yang bimbang ini. Merindukan cinta, kasih sayang, persahabatan. Merindukan kenangan-kenangan hidup yang telah terpaku dalam hati.

AKU
Aku adalah pemimpi
Kaulah mimpi indahku

Aku adalah pejuang
Kaulah penyemangatku

Aku adalah pengembara
Kaulah yang kucari

Aku adalah pecinta
Kaulah yang kucinta

Aku adalah penyayang
Kaulah yang kusayang

Aku adalah Aku
Dan kaulah bagian Aku


KAU
Kau bagaikan burung kecil
yang terbang dan hinggap sesukamu

Kau bagaikan angin
yang berhembus tak menentu

Maka bagiku
Cukuplah kubiarkan kau terbang
Cukuplah kurasakan senyummu
Cukuplah kurasakan pedihnya
hembusan angin


* * *



Sore itu begitu mendung. Awan biru kini menghitam sepekat wajahnya saat kulihat di kamar yang berukuran 3x4 meter. Di pojok kanankulah ia terdiam memurungkan wajahnya. Aku diam. Dia pun diam. kami berdua diam.
Sesekali aku menorehkan senyum di matanya yang bersinar. Namun dia tak membalas senyumku. “Tak seperti biasanya,” gumamku dalam hati sambil mengerutkan dahi.
Sepuluh hari sudah aku jalani hidupku dengannya. Bersama angin, matahari, dan awan biru. Bersama bintang, rembulan, dan mendungnya awan. Bersama suka, kasih, dan sayang. Bersama rindu dan luka.

Bersamamu kulihat pelangi
Bersamamu kulihat bintang
Bersamamu kulihat rembulan

Bukan hanya itu

Bersamamu kulihat panas
Bersamamu kulihat darah
Bersamamu kulihat benci

Bukan benci untuk mencinta
Bukan benci untuk sayang

Bukan hanya itu

Kubenci kau dengannya

2 komentar:

Yesi Moci mengatakan...

Mengisahkan seseorang yang sedang jatuh cinta, ya? Hmm...pantesan puitis banget. Ya, kalau seseorang sedang jatuh cinta, biasanya memang suka mendadak jadi penyair meski ia tidak pandai bersyair. Saya suka puisi-puisinya yang disertakan di tulisan ini.

Oiya, terimakasih sudah berkunjung ke blog saya. Bhy the way, saya punya cerpen baru nih, masih anget. Baru diposting kemarin. I Like Valentine but I hate Valentine. Bila berkenan, mohon koreksinya. Memang, Valentine Day/Hari Kasih-sayangnya sudah lewat, tapi nanti pasti dijelang kembali bukan? Untuk itu, biar kita nggak salah kaprah mengenai kasih-sayang, baca dulu yuk cerpen tersebut.

Dede Arman Ragil mengatakan...

Hehehe... ya begitulah klo orang sedang jatuh cinta....
hatur nuhun udah membaca n menyukai karya saya n juga berkunjung ke blog saya.
oke deh, insya Allah nanti Aku baca yak....
Met berkarya!

BROMO

BROMO
KAWAH BROMO